"Bangun, Boy, bangun... coba liat itu, jam berapa?" Sentak suara ibu menggelegar saat matahari mulai menampakkan sinarnya. Tak ayal aku pun melihat jam yang terpampang megah di sisi pojok atas meja kamarku, “ Astaga... 20 menit lagi bel sekolah tanda masuk akan berbunyi.” Dengan secepat kilat aku bersiap beranjak dari ranah empuk yang membawaku bernostalgia dalam halusi kegalauan karena aku juga takut terlambat apalagi dihukum, tak banyak bicara aku langsung beranjak dari kamar tidur, mandi dan setelah itu memakai baju putih celana abu-abu yang telah rapi diseterika oleh ibu. Yah begitulah keseharianku, aku ini orangnya pemalas luar biasa. Sebenarnya sih pingin berubah, tapi malu aja sih klo tiba-tiba berubah 180 derajat drastis tis...tis...di depan teman-temanku, yah begini aja dulu-lah udah cukup, nanti juga pasti berubah koq. Karakter itu kuat tertancap di dalam diri ini, sering kali menunda-nunda pekerjaan dan karena itulah semua kegiatanku berantakan tak terkendali terlihat dari kehidupanku yang sembarangan ini, praktis aku hanyalah seorang yang biasa-biasa saja, tak memiliki kelebihan apapun. Kekurangan? Yah, lumayan mendominasi sih, itu udah ada buktinya.
Sudah lama aku dan ibu hidup soliter alias menyendiri karena aku anak tunggal yang tak berayah, ayah telah lama meninggal bahkan melihat dan membayangkan wajahnya pun samar-samar karena tak pernah bertatap muka sekalipun terhitung saat aku berumur 3 bulan dalam kandungan, kami ditinggalkan oleh sang pemimpin pasukan keluarga kecil ini. Aku selalu sedih saat membayangkan semua ini, ingin rasanya aku merasakan pelukan hangat sang ayah dan mencicipi buah kepemimpinannya di rumah tangga ini, aku hanya bisa memandang ayah lewat foto berukuran 3R, di sana ayah tersenyum bahagianya memakai Jas dan Kemeja hitam. Sebagai penggantinya, hanya foto itu yang selalu kupeluk saat rasa kerinduan ini memuncak. Aku memang seorang lelaki, lantas, tak bolehkah aku bersedih dan menangis saat rentetan kejadian dahsyat ini menimpaku? Sudahlah, memang inilah takdir yang telah diamanatkan Sang Khalik untuk keluarga kami, yang jelas, sejak dulu aku telah coba menerima semua ini walaupun sulit, suli...iiiiiiiiiit............
Dekat rumahku ada sebuah taman yang sangat indah sekali, setiap sore para keluarga berkunjung ke sana, taman itu dihiasi air mancur dan sebuah kolam yang tepat 1 meter di sampingnya terdapat bunga-bunga yang indah dan elok dipandang, bukan hanya itu, taman itu dilengkapi dengan taman bermain, jurus jitu inilah yang mengundang para keluarga beserta anaknya tertarik berbondong-bondong ke sana. Setiap sore hari aku melintasi taman indah itu, betapa bahagianya anak-anak itu bermain tanpa ada beban kehidupan sekalipun, kebahagiaan itu pun lengkap saat ayah mereka turut serta menyemaraki permainan tersebut, tak jarang anak-anak dengan ayahnya itu saling berbagi kebahagiaan, sinyal senyuman anatara mereka mewarnai pelangi keindahan taman itu, bukan hanya satu atau dua keluarga yang menguak kebahagiaan di sana, melainkan belasan bahkan puluhan keluarga menikmati aroma sedapnya taman itu. Tawa canda menghambur memenuhi hamparan taman itu. Alangkah bahagianya masih bisa merasakan kasih sayang seorang Ayah. Sudahlah tak perlu ada yang disesali, aku ini seorang lelaki tak boleh berlarut-larut dalam kesedihan, 'life must go on.' Genangan air yang perlahan mengalir membasahi pipiku yang mulai kusam ini harus kuusap dengan sentuhan lembut tangan diikuti dengan sebuah senyuman tanda untuk melepaskan kesedihan ini.
Terlepas dari itu semua, figur seorang ayah tidak akan pernah tergantikan oleh siapapun, ibu nampaknya setia dengan status 'janda'. Sosok pengganti ayah sebagai tulang punggung keluargapun kini beralih ke tangan seorang ibu yang merangkap pekerjaan tersebut, ibu kini sebagai tokoh sentral dalam menjalani lika-liku kehidupan. Seorang tokoh yang tegar dan penyayang disandang oleh perempuan yang lahir sekitar 38 tahun silam ini. Berprofesi sebagai guru kini harus menghidupi Aku dan segala hal yang bersangkut paut dengan rumah tangga. Bagiku ibu adalah salah satu aset berharga dalam hidup ini, lebih berharga dibandingkan emas berlian bahkan seisi dunia yang ada. Tak ada kata yang pantas mendeskripsikan orang sesempurna ibu, begitulah sebutan baginya.
Namun semua hal yang kudeskripsikan tadi tak sebanding dengan tingkah laku yang selalu kulakukan, entahlah, siapa yang aku ikuti? Aku sama sekali tak ada miripnya dari 2 tokoh orang yang berpengaruh terhadap kelahiranku itu. Iya sih, aku ini anak kandung mereka, tapi fakta di lapangan mengatakan bahwa tak ada pewarisan sifat dan kebaikan mereka terhadap diriku, aku ini orangnya sembarangan, tidak serajin ayah. Aku ini orangnya egois, juga tidak sepenyabar ibu. Bahkan aku ini anak yang tak pernah tahu balas budi terhadap mereka karena tingkah laku-ku yang jauh dari orbit yang telah ditetapkan dan diharapkan oleh mereka. Entah mengapa, yah?
Itu semua terlihat bagaimana keseharianku, aku selalu bangun terlambat, bahkan aku adalah siswa yang daftar namanya paling sering muncul di deretan siswa terlambat. Bukan hanya sampai di situ, di deretan siswa yang paling sering tidak mengerjakan PR pun aku termasuk di dalamnya. Betapa sempurnanya keburukanku dengan semua hal yang telah kulakukan, tapi sampai di sini ibu ku tak pernah memukul bahkan memaki-makiku karena aku begitu memalukannya, ia hanya selalu berpesan bahwa 'jadilah anak yang rajin dan berbakti kepada orang tua' selalu pesan itu muncul padahal berkali-kali dan berulang-ulang juga kesalahan itu masih saja kulakukan. Lagi-lagi kebaikan ibuku itu tak selaras dengan apa yang kulakukan selama ini.
Ibu benar-benar menyempurnakan kasih sayangnya, kala ia selalu ‘menyupport’ saat aku selalu terjatuh dan saat mentalku tenggelam ke dasar yang paling dalam. Aku tahu ia pasti sangat sakit dengan tingkahku ini, tapi mengapa rasa sakit itu selalu ia sembunyikan dengan senyum kebahagiaan yang mengantarkannya sebagai ratu dalam kerajaan, dan tidak memberikan ku testimoni perlakuan dalam tanda kutip 'kasar' terhadap kesalahan-kesalahan yang ku perbuat?
Akhirnya tibalah saat itu ketika aku selalu ‘disupport’ setiap ada perlombaan, aku disuruh ikut, ibu selalu menyuruhku padahal aku ini tak bisa apa-apa. Lalu apa katanya? " Sudahlah, Nak, inilah bekal pengalamanmu kelak, tak ada yang sia-sia dan ibu yakin kau pasti akan sukses."
Bayangkan... Ibu mengatakan kalimat yang membuat jantungku bahkan perasaanku tiba-tiba terdiam dan berpikir sejenak hingga hati ini luluh menangkapnya. Setiap perlombaan pun kuikuti, namun lagi-lagi masih selalu gagal, aku terbelakang. Penampilanku memalukannya, ia yang selalu hadir di tengah-tengah lomba. Setia ‘mensupport’ dengan menebar senyuman motivasi kepadaku lagi dan lagi menjadi tak berarti ketika penampilanku jauh di bawah yang diharapkan, aku selalu kalah. Tapi, ibu selalu bilang setelah aku lomba, " Kamu hebat, Nak, ibu bangga punya anak sehebat kamu, kita lihat saja nanti siapa pemenangnya, ibu yakin kamu yang menang. " Entah apa yang ada di pikiran Ibu, aku yang sadar dan sangat sadar bahwa penampilanku sangat memalukan dan buruk jelas tidak mungkin mendapat hadiah dan juara sepertinya dia memang hanya ingin menyenangkanku dan menumbuhkan kembali mentalku begitulah caranya. Akhirnya pengumuman pun dibacakan, dan sesuai prediksi dan perkiraan, aku tak masuk ke dalam juara itu. Tapi lagi-lagi Ibu berkata apa, " Astaga, Nak, mungkin kamu cuma kalah kostum, mungkin juga karena kamu kurang fit sehingga suara kamu terganggu, padahal sedikit lagi, Ibu sudah yakin koq kamu yang menang. Ya sudah, Nak, sabar aja mungkin belum rejeki, kan paling-paling nilainya kalah sedikit aja sama yang juara satu." sambil menepuk punggungku.
Ibu..ibu...selalu saja seperti itu, tidak ada alasan apapun aku kalah selain penampilanku yang memang jauh dari apa yang diharapkan, ibu hanya ingin menyenangkan hatiku. Aku ini memang tak berbakat Ibu dalam semua hal, ditambah lagi pelajaranku di sekolah selalu mendapat nilai merah alias nilai rendah. Ibu selalu memberikan ‘support’ dengan kondisiku yang lunglai tak berujung ini.
Akhirnya setiap lomba demi lomba yang kuikuti, ia selalu hadir dan menjadi tokoh pertama dan utama soal bagaimana harus mendukungku, semua lomba yang kuikuti ia selalu berikan semangat. Tepat kala itu perlombaan puisi tingkat kabupaten, aku memberanikan diri untuk ikut. Padahal yang tingkat sekolah saja aku gemetaran, mentalku jatuh, apalagi tingkat kabupaten?
Ibu cukup terkejut dengan keputusanku yang mengikuti lomba se-Megah tingkat kabupaten ini yang biasanya aku sangat takut menghadapinya, uang pendaftaran pun telah dibayar. Semua administrasi telah selesai kulakukan, tinggal menyiapkan dan latihan untuk perlombaannya saja lagi. Lagi-lagi mentalku benar-benar jatuh ketika betapa hebatnya melihat para peserta-peserta yang mengikutinya sangat jago dalam pembawaannya. Begitu namaku disebutkan, rasanya gempa 9,0 Skala Richter mengguncang dunia ini, jantungku tak karuan berdetak kemana-mana, gugup tingkat tinggi. Alhasil ketika penampilanku yang canggung dan gugup ini pun menghantui, hingga di tengah pembawaan microphone pun jatuh tak sengaja kusentuh, sepertinya itulah awal kehancurannya. Salahnya aku, kuambil ‘mic’ itu dan kutaruh lagi di tempatnya, aku benar-benar tak bisa ‘improve’, pembawaanku benar-benar hancur. Hingga selesailah pembacaan itu, aku turun dari panggung dan tak sengaja terkait kabel. Dan benar-benar membenamkan penampilanku saat itu aku terjatuh dan ditertawai oleh segenap penonton yang berada di ajang kompetisi bergengsi itu. Aku malu...malu banget, oh betapa malunya...maluuuuuuuuuuuuu, oh kasihan ibu. Hanya ibu yang kupikirkan saat peritiwa memalukan itu terjadi, bukan diriku.
Tapi tahukah... Lagi-lagi seorang ibu masih dengan kata-kata yang sama, dia selalu katakan " Itu penampilanmu yang terhebat yang pernah ibu lihat, Nak. Kau akan menjadi seorang yang sukses." Tak banyak tanggapanku, aku hanya duduk dengan tatapan kosong diiringi rasa malu dan berjalan dengan kepala menunduk. Kusesali semua yang telah terjadi kepadaku selama ini, ku hanya ingin membalas betapa baiknya sosok ibu ini, kutinggalkan semua hal yang membuatku menjadi terbelakang. Kucoba untuk bangun pagi, mengerjakan PR setiap harinya. Bahkan setelah itu kucoba menata kehidupan baruku biarlah teman-teman menerima diriku yang telah berubah, buat apa untuk sebuah perubahan positif, kita harus malu? Yang malu kan mereka yang tak mau berubah ?
Maka tibalah penantianku untuk membuktikan semuanya kepada ibu, saat itu ada sebuah perhelatan akbar untuk menjaring penyair nasional yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan Nasional yaitu lomba cipta dan baca puisi seleksi tingkat provinsi, kepada siapa yang berhak mewakili provinsinya. Inilah ajang pembuktianku selama ini atas pengorbanan dan kebaikan ibu kepadaku. Aku coba latihan berhari-hari. Kulihat berbagai macam cara penyajian para penyair ternama bagaimana aksi panggungnya, pagi siang sore malam kulatih terus, semua hal yang kurang kucoba introspeksi diri ini, kupahami maksud setiap bait yang kubuat dan kutelusuri mimik dan gaya apa yang pantas sesuai dengan bait tersebut biar cocok penghayatannya, dan akhirnya kusiap tampil.
Namun ada satu hal yang mengganjal dari kesiapanku, baru kali ini ibu meminta maaf kepadaku ia berhalangan hadir, entah ada sesuatu hal apa yang tak kuketahui. Di saat aku telah siap dan akan menyajikan penampilan terbaik yang kumiliki, ibu tak ada di tengah-tengahku sebagai pendukungku sebagaimana biasanya. Namun aku mencoba berpikir positif, ketidakhadiran ibu bukanlah pengganjal dariku yang terpenting akan kubawa pulang piala juara 1 dan semuanya akan kupersembahkan untuk ibuku tercinta.
Tibalah saatnya, kucium tangan ibu dan kupeluk ia sebagai tanda aku meminta doa restu semoga semuanya berjalan baik-baik saja. Waktu pun terus berjalan dan terus berjalan, Akhirnya penampilanku tiba, dengan penuh percaya diri kubawakan puisi itu dengan irama yang sesuai dengan apa yang diharapkan bait per bait, kuresapi pembawaan itu, kutuangkan beribu perasaan di dalamnya tanda persembahanku terhadap sosok ibu, penonton terdiam haru melihat aksi panggung yang kusajikan. Sampailah di akhir bait, dan segera beriringan tepuk tangan yang sangat meriah dari penonton.
Kala itu saat aku turun dari panggung orang-orang mendatangiku dan mengucapkan selamat kepadaku, sayang saat spesial itu pun tidak ada ibu. Aku ingin mendengar tanggapan apalagi yang akan disampaikannya dengan penampilanku yang barusan ini. Maka kutunggulah sampai pengumuman juara, berawal dari juara harapan 3 atas nama..., harapan 2 atas nama..., harapan 1 atas nama...., juara 3 atas nama..., juara 2 atas nama... dan ini lah yang berhak untuk melanjutkan ke tingkat Nasional untuk mewakili Provinsi sebagai perwakilan juara 1 atas nama... Aku berdoa dan terus berdoa, dan harapan itu pun berbuah manis nama ku Iman 'boy' Juansyah disebutkan, betapa bersyukurnya aku. Tak tahu bagaimana ucapan terima kasihku kepada ibu dan Tuhan tentunya. Akhirnya piala yang kujanjikan pun kurengkuh dengan perjuangan yang maksimal. Kupegang piala besar yang berkaca itu beserta piagamnya. Kubawa pulang dengan jalan kaki, tak tahu rupa wajah apa yang akan tampak dari sosok ibu yang telah menanti di rumah. Matahari yang sangat terik tak terasa lagi mendekap erat tubuh ini.
Sampailah aku di belokan jalan terakhir di dekat rumahku, semakin berdebar jantung ini tak sabar memperlihatkan hasil usahaku selama ini berkat bimbingan dan doa dari ibu. Dan...Sesuatu di luar dugaanku terjadi, bendera putih berkibar deras di depan rumahku. Astaga berlari aku tak sanggup sambil bercucuran derasnya air mata ini, tak kutahu lagi apa yang terjadi, kutengok tetangga-tetangga dan keluargaku memenuhi lobi rumah, dan tanpa kusadar piala ini sungguh tak berarti. Orang yang kutunggu-tunggu bagaimana reaksinya saat aku memboyong piala ini ke rumah pun kini telah tiada, orang yang selalu support aku saat aku terjatuh, orang yang selalu kusakiti dan ia hanya membalasnya dengan senyuman kini telah jauh meninggalkanku, di saat pembuktianku ingin kupersembahkan semuanya terjadi begitu saja. Tuhan... apa semuanya adil seperti ini, ini tidak adil. Kuletakkan piala serta piagam di samping jenazah ibu ku ini, kupeluk erat dia dan aku tak tahu apa yang harusnya kulakukan setelah ini. Orang yang benar-benar mencintaiku kini juga pergi menyusul ayah tercinta.
Semuanya memang telah menjadi takdir, Sebuah rahasia besar yang sampai sekarang belum kuketahui mengapa ibuku pergi begitu saja meninggalkanku, banyak yang mengatakan ia terkena serangan jantung. Yang jelas aku tak tahu lagi, semuanya benar-benar di luar dugaan dan masih menjadi rahasia misteri di hidupku. 'Life must go on' akhirnya kuberjanji di dalam diriku sendiri semua yang kulakukan ke depannya mulai sekarang kupersembahkan untuk ibu, orang yang tak bisa dideskripsikan kesempurnaannya, semoga dirimu selalu ada di sisi-Nya, Ibu...
(30 Maret 2011, Iman 'Boy' Juansyah 30 Tahun, bersama penyair Internasional dalam forum tertutupnya curhat 'dalam bahasa inggris' mengenai kehidupannya dahulu yang ditinggalkan kedua orang tuanya terkhusus seorang ibu yang selalu mendukungnya, dan serentak pun penyair yang lain tak kuasa menahan tangisnya )
Karya : Ridho Septian Rahman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar